SEJARAH SILAS PAPARE

Silas Papare 
(lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918 – meninggal di Serui, Papua, 7 Maret 1973 pada umur 54 tahun) adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor lambung 386. Selain itu, dididirkan Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.


Riwayat Singkat

Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga ia sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya ia dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan ia bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, ia kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun, dengan transportasi kapal laut, Silas Papare dan isterinya, Regina Aibui serta keluarganya memilih melarikan diri menuju Yogyakarta ke Yogyakarta.
Pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga diminta oleh Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia kemudian diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Ketika Jepang menduduki Irian, Silas kembali ke kampungnya dan menjadi petani. Ia enggan bekerjasama dengan Jepang yang dianggapnya tidak akan membawa perbaikan kepada nasib orang Irian. Pada tahun 1944 Papare dijemput oleh sebuah pesawat Amerika dan dibawa ke sebuah pulau kecil. Sejak itu ia menjadi mata-mata Amerika, tetapi dengan maksud tiada lain untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari Irian.
Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2, Belanda datang lagi dan mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Papare yang tidak menyukai Belanda pergi menghindar lagi. Ia kembali ke Serui dan bekerja di rumah sakit. Setahun kemudian, ia dan beberapa orang teman seperjuangan mendirikan PKII di Serui. Aksi politiknya itu jelas membawa akibat pada dirinya. 
Papare lalu ditangkap Belanda dan ditahan di tangsi Serui, tapi ia berhasil kabur. Kemudian Papare ditangkap lagi dan dibawa ke Biak. Dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil lagi melarikan diri ke Serui. Akan tetapi, Belanda menangkapnya lagi dan membawanya ke Biak, lalu ke Hollandia (Jayapura) di mana ia dijatuhi hukumuman penjara selama 1 tahun 6 bulan. 
Akan tetapi ia tidak jadi menjalani hukuman itu secara penuh. Residen Hollandia membebaskannya dengan pertimbangan bahwa ia sudah banyak membantu Amerika, sahabat Belanda, selama perang melawan Jepang. Papare kembali lagi ke Serui dan terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya untuk bersatu di bawah bendera merah putih.
Kemunculan Papare di Ibukota RI Yogyakarta pada bulan November 1949 adalah untuk “membentangkan kepada umum sekitar perdjuangannja dan hasrat rakjat Irian” yang ingin “turut merasakan kemerdekaan bersama-sama dengan saudara-saudaranja didaerah lain.” (ibid.:9). Papare bertahan di Jawa karena ia tidak mungkin kembali ke Serui, sebab Belanda pasti sudah menunggunya dengan borgol dan bilik penjara.
Di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian pada bulan Oktober 1949. Konfrontasi yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari cengkeraman penjajah Belanda. Papare kemudian aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus 1954. 
Akan tetapi masalah Irian terus berlarut-larut. Papare kemudian diminta oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Papare kemudian diangkat menjadi angota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat. 
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia mewujudkan dugaan Papare yang dinyatakannya 20 tahun sebelumnya: bahwa sebagian besar rakyat Irian akan memilih bergabung dengan Republik Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Irian, Silas kembali ke kampungnya dan menjadi petani. Ia enggan bekerjasama dengan Jepang yang dianggapnya tidak akan membawa perbaikan kepada nasib orang Irian. Pada tahun 1944 Papare dijemput oleh sebuah pesawat Amerika dan dibawa ke sebuah pulau kecil. Sejak itu ia menjadi mata-mata Amerika, tetapi dengan maksud tiada lain untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari Irian.
Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2, Belanda datang lagi dan mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Papare yang tidak menyukai Belanda pergi menghindar lagi. Ia kembali ke Serui dan bekerja di rumah sakit. Setahun kemudian, ia dan beberapa orang teman seperjuangan mendirikan PKII di Serui. Aksi politiknya itu jelas membawa akibat pada dirinya.
Papare lalu ditangkap Belanda dan ditahan di tangsi Serui, tapi ia berhasil kabur. Kemudian Papare ditangkap lagi dan dibawa ke Biak. Dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil lagi melarikan diri ke Serui. Akan tetapi, Belanda menangkapnya lagi dan membawanya ke Biak, lalu ke Hollandia (Jayapura) di mana ia dijatuhi hukumuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Akan tetapi ia tidak jadi menjalani hukuman itu secara penuh. Residen Hollandia membebaskannya dengan pertimbangan bahwa ia sudah banyak membantu Amerika, sahabat Belanda, selama perang melawan Jepang. Papare kembali lagi ke Serui dan terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya untuk bersatu di bawah bendera merah putih.
Kemunculan Papare di Ibukota RI Yogyakarta pada bulan November 1949 adalah untuk “membentangkan kepada umum sekitar perdjuangannja dan hasrat rakjat Irian” yang ingin “turut merasakan kemerdekaan bersama-sama dengan saudara-saudaranja didaerah lain.” (ibid.:9). Papare bertahan di Jawa karena ia tidak mungkin kembali ke Serui, sebab Belanda pasti sudah menunggunya dengan borgol dan bilik penjara.
Di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian pada bulan Oktober 1949. Konfrontasi yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari cengkeraman penjajah Belanda. Papare kemudian aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus 1954.
Akan tetapi masalah Irian terus berlarut-larut. Papare kemudian diminta oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Papare kemudian diangkat menjadi angota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat.
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia mewujudkan dugaan Papare yang dinyatakannya 20 tahun sebelumnya: bahwa sebagian besar rakyat Irian akan memilih bergabung dengan Republik Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Irian, Silas kembali ke kampungnya dan menjadi petani. Ia enggan bekerjasama dengan Jepang yang dianggapnya tidak akan membawa perbaikan kepada nasib orang Irian. Pada tahun 1944 Papare dijemput oleh sebuah pesawat Amerika dan dibawa ke sebuah pulau kecil. Sejak itu ia menjadi mata-mata Amerika, tetapi dengan maksud tiada lain untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari Irian.
Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2, Belanda datang lagi dan mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Papare yang tidak menyukai Belanda pergi menghindar lagi. Ia kembali ke Serui dan bekerja di rumah sakit. Setahun kemudian, ia dan beberapa orang teman seperjuangan mendirikan PKII di Serui. Aksi politiknya itu jelas membawa akibat pada dirinya.
Papare lalu ditangkap Belanda dan ditahan di tangsi Serui, tapi ia berhasil kabur. Kemudian Papare ditangkap lagi dan dibawa ke Biak. Dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil lagi melarikan diri ke Serui. Akan tetapi, Belanda menangkapnya lagi dan membawanya ke Biak, lalu ke Hollandia (Jayapura) di mana ia dijatuhi hukumuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Akan tetapi ia tidak jadi menjalani hukuman itu secara penuh. Residen Hollandia membebaskannya dengan pertimbangan bahwa ia sudah banyak membantu Amerika, sahabat Belanda, selama perang melawan Jepang. Papare kembali lagi ke Serui dan terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsanya untuk bersatu di bawah bendera merah putih.
Kemunculan Papare di Ibukota RI Yogyakarta pada bulan November 1949 adalah untuk “membentangkan kepada umum sekitar perdjuangannja dan hasrat rakjat Irian” yang ingin “turut merasakan kemerdekaan bersama-sama dengan saudara-saudaranja didaerah lain.” (ibid.:9). Papare bertahan di Jawa karena ia tidak mungkin kembali ke Serui, sebab Belanda pasti sudah menunggunya dengan borgol dan bilik penjara.
Di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian pada bulan Oktober 1949. Konfrontasi yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari cengkeraman penjajah Belanda. Papare kemudian aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus 1954.
Akan tetapi masalah Irian terus berlarut-larut. Papare kemudian diminta oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Papare kemudian diangkat menjadi angota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat.
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia mewujudkan dugaan Papare yang dinyatakannya 20 tahun sebelumnya: bahwa sebagian besar rakyat Irian akan memilih bergabung dengan Republik Indonesia.

Pada tahun 1970an Silas Papare kembali ke tanah kelahirannya di Serui. Republiken tulen putra asli Papua (Irian) itu meninggal di pulau kelahirannya itu pada 7 Maret 1973 dalam usia 55 tahun. Namanya diabadikan menjadi salah satu korvet Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan nomor lambung 386. Selain itu, di pelabuhan laut Serui, didirikan pula Monumen Silas Papare. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi: Sekolah Tinggi Ilmu Politik (STISIPOL) Silas Papare
Presiden Sukarno dan beberapa staf beliau berfoto bersama dengan anggota Biro Irian Barat di Jakarta setelah dilantik oleh Kepala Negara. (Sumber: Pesat. Mingguan Politik Populer, No. 34, Th. X, 21 Agustus 1954: 23)
Presiden Sukarno dan beberapa staf beliau berfoto bersama dengan anggota Biro Irian Barat di Jakarta setelah dilantik oleh Kepala Negara. (Sumber: Pesat. Mingguan Politik Populer, No. 34, Th. X, 21 Agustus 1954: 23)
Demikianlah kisah perjuangan Silas Papare. Mengenang republiken tulen dari timur itu sempena peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun ini mungkin dapat mengingatkan lagi penguasa negeri ini untuk mempertegas komitmen mereka untuk membangun Papua yang sejahtera dan damai, meningkatkan kualitas kehidupan rakyatnya serta menjaga martabat mereka, baik sebagai manusia dan terutama sekali karena mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang mestinya sederajat dan memperolah perlakuan yang sama dengan sanak saudara mereka di daerah-daerah lain di negara ini.
Dirgahayu ke-71 Republik Indonesia. Arwah Silas Papare menunggu janji-janjimu kepada rakyat Papua.
Leiden, 16 Agustus 2016.
Suryadi
Universiteit Leiden, Belanda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK "SILAS PAPARE" JAYAPURA